Pros & Cons About Being a Digital Nomad

Digital Nomad

I’ve lived as a digital nomad and I loved it although there is some downside of this kind of lifestyle.

Menjalani kehidupan sebagai digital nomad terdengar seperti mimpi yang jadi kenyataan. Gimana enggak seperti mimpi, seorang digital nomad punya fleksibilitas untuk bekerja dari manapun yang ia mau asalkan terhubung dengan internet. Siapa yang enggak mau traveling terus-terusan sambil menghasilkan uang dan memiliki pekerjaan yang stabil?. Apalagi sejak pandemik melanda, semakin banyak perusahaan yang membolehkan pekerjanya untuk working from home atau bekerja secara remotely. Saya sendiri pernah memilih menjadi digital nomad sejak tahun 2017-2020. It was very fun and exciting meskipun banyak tantangannya juga. Gimana sih rasanya menjadi digital nomad? Apa saja pekerjaan yang bisa dilakukan agar bisa hidup as a digital nomad ? Gimana caranya agar bisa sustain dengan lifestyle seperti ini? I’ll tell you all about it in this article.

APA ITU DIGITAL NOMAD ?

Digital Nomad
View from my hotel in Ubud, Bali

Digital nomad adalah orang-orang yang menggunakan teknologi telekomunikasi untuk mencari nafkah dan menjalani kehidupannya secara nomaden. Para digital nomad tak perlu bekerja dari sebuah kantor di suatu kota/ negara tapi bisa bekerja dari coffee shop, perpustakaan umum, ruang kerja bersama, atau kendaraan rekreasi, baik di kota/ negaranya maupun di kota/ negara lain. Beberapa jenis pekerjaan yang sering dijalani para digital nomad diantaranya adalah penulis, social media marketer, digital marketer, website developer, graphic designer, online teacher, software engineer, content creator, penerjemah, pengusaha, dan lain sebagainya. Mereka bekerja per project atau sebagai kontraktor, atau sebagai freelancer, tapi tak menutup kemungkinan para digital nomad juga terikat dengan perusahaan tertentu atau berstatus sebagai karyawan. Di Asia Tenggara sendiri, ada beberapa kota/ lokasi yang sering dijadikan base oleh para digital nomad untuk tinggal dan berkarya, diantaranya Chiang Mai, Thailand serta Ubud dan Canggu di Bali, Indonesia. Negara lain yang populer di kalangan digital nomad adalah Meksiko; Lisbon, Portugal; Medellin, Kolombia; Talinn, Estonia; dan Oslo, Norwegia.

Gaya hidup digital nomad menjadi lebih populer sejak beberapa tahun belakangan karena beberapa faktor yang mendukung, diantaranya konektivitas internet yang semakin meluas dan cepat, hingga ke area pedesaan. Selain itu semakin banyak jenis pekerjaan yang less-location dependent. Ditambah karena adanya pandemik, banyak perusahaan yang mengubah cara kerjanya menjadi working for home, baik untuk jangka waktu tertentu ataupun untuk selamanya. Satu faktor lain adalah adanya lokasi-lokasi yang memiliki cost of living yang rendah namun kualitas hidupnya tinggi, seperti Bali. Makanya, kebanyakan digital nomad berasal dari negara maju yang mana kekuatan paspornya memberikan lebih banyak kebebasan untuk traveling, dan banyak dari digital nomad yang memilih untuk tinggal di negara yang cost of livingnya rendah.

PENGALAMAN HIDUP SEBAGAI SEORANG DIGITAL NOMAD

Digital Nomad

Gimana ceritanya saya bisa jadi digital nomad? Itu semua bermula pada tahun 2017. Jadi, karena sering jalan-jalan keliling dunia, saya bertemu banyak traveler lain dan menyadari kalau ada cara lain selain kerja full time untuk mengisi hidup ini. Kalau banyak orang bisa menghasilkan uang sama banyak atau bahkan lebih banyak while memiliki gaya hidup yang lebih bebas dan santai serta memungkinkan untuk traveling kapan aja, kenapa gak saya coba?. Kebetulan juga saat itu seorang teman lama menawarkan saya untuk jadi overseas contributor di sebuah media massa tempat dia bekerja. ” Da, elo kan sering keluar negeri. Kenapa enggak sekalian nulis disini, kita lagi butuh kontributor luar negeri nih, ” ujarnya kala itu. Setelah mempertimbangkan masak-masak, terutama memperhitungkan kondisi keuangan (buat saya harus ada dana cadangan yang cukup sebelum mulai jadi digital nomad) dan mikir is it gonna harm my career in the future or not, saya ambil kesimpulan bahwa hidup as a digital nomad for a few years is worth to try and I am still young, so why not?.

Selama hidup sebagai digital nomad, saya sempat tinggal berpindah-pindah dari satu negara dan kota ke negara dan kota lainnya. Awalnya saya tinggal di Hanoi, Vietnam, jadi kerjanya dari Hanoi juga. Karena tahun 2017-2018 saya sering banget traveling, jadinya kerjaan saya ngikut kemanapun saya pergi, mainly di sekitar Vietnam seperti Sa Pa, Ninh Binh, Sai Gon, juga di banyak kota di Eropa saat traveling ke sana. Selain Vietnam, saya sempet balik ke Jakarta, Indonesia selama beberapa bulan lalu pindah lagi ke Wisconsin, Amerika Serikat. Selain Jakarta, kota lain di Indonesia yang pernah saya jadikan base adalah Yogyakarta.

Digital nomads jobs yang konsisten saya lakukan adalah menulis seputar travel dan food di news websites, majalah, serta koran. Selain itu, saya iseng juga membuat food & travel video from around the world lalu dijual ke beberapa stasiun tv. Saat-saat jadi digital nomad ini termasuk the best point in my life, dimana hidup saya tenang banget dan bisa punya rutinitas yang saya suka. Most of the time, saya kerja dari rumah, coffee shop dan restaurant. Di Hanoi sendiri, saya paling sering nongkrong sambil nulis di Cong Caphe di jalan Pham Ngoc Tach, Hola Cafe di Dong Da, KFC, dan sesekali Starbucks di mal Vincom Pham Ngoc Tach. Nulis pun saya gak pakai laptop kecuali di dalam apartemen, sisanya cuma modal hape hahaha.

Selain nulis, saya sempet juga ngerjain kerjaan lain misalnya jadi a subtitute English teacher di sebuah English language centre di kota kecil diluar Hanoi (1,5 jam dari Hanoi), penguji tes untuk para translator bahasa Vietnam ke bahasa Indonesia, riset bahasa daerah untuk Google Translate, bisnis eskpor impor dan jastip selama tinggal di Amerika Serikat, hingga ambil a part time job di Wisconsin. Sebenarnya, saya juga pernah dapet full time job di sebuah kantor travel agent di Hanoi tapi gak saya ambil karena kerjaannya memakan long working hours dan gajinya gak sepadan, mendingan nulis dan bikin video saya bisa traveling kemana-mana.

Hidup as a digital nomad memang menarik banget sih. Kadang saya menerima DM atau email dari blog readers yang penasaran dan tertarik untuk jadi seorang digital nomad (entah kenapa semuanya laki-laki). Teman blogger saya aja ampe membuat satu artikel khusus tentang digital nomad dengan interview saya as narasumbernya. I also made another article about how my life is going as a digital nomad, kamu bisa membacanya disini. Meskipun menarik dan menantang, menjadi digital nomad juga banyak tantangan dan downsidenya lho, which lead us to the next chapter of this article.

PROS & CONS OF HIDUP SEBAGAI DIGITAL NOMAD

Digital Nomad

This chapter is written specifically for you who are interested in being a digital nomad. Let’s start it from the benefits of being a digital nomad :

  1. Get more freedom to travel

It’s obvious, right?. Karena jenis pekerjaannya bisa dikerjakan dimana saja asal ada koneksi internet, maka traveling bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun kamu mau, asal tidak mengganggu pekerjaan tentunya. It’s the part I love the most from being a digital nomad. Kadang saya kerja dari Cong Caphe di Hanoi, tapi saat weekend pindah ke pegunungan Sa Pa di perbatasan Vietnam-China dan surprisingly produktivitas meningkat pesat disini. Saat winter di Wisconsin, kerjaan saya cuma nulis artikel dan ngedit video dari siang sampai malam di rumah. Di Eropa, karena sibuk keliling kota dari siang sampai malam, seringnya saya nulis saat udah di kasur menjelang tidur.

2. Flexibility

Kamu bisa memilih mau kerja dengan working environment yang kamu suka, be it di pinggir pantai, di gunung, di villa yang tenang, restoran, etc, dan bisa pindah ke tempat lain kapan pun kamu mau. Saat kamu ingin lebih dekat dengan orang tua/ keluarga, kamu bisa kerja dari kampung halaman, atau kerja dari rumah sahabat di Tokyo, misalnya. 92% digital nomad menyatakan mereka merasa lebih happy karena tidak terikat dengan tempat kerja secara fisik. Selain itu, digital nomad juga merasa gak se-stres kalau kerja di kantor karena less-drama, gak perlu menghabiskan waktu commuting ke tempat kerja, dan gak perlu dandan. Kamu juga punya fleksibilitas untuk menjadi your own boss, maksudnya kamu bisa mengatur jadwal sendiri, jumlah load pekerjaan, berapa hari libur kamu dan gak perlu izin atasan juga, bahkan bisa milih klien dan projects yang mau dikerjakan. This freedom and independence feel great!

3. Upgrading a lot of new skills

Karena tidak ada yang giving order to me, saya banyak belajar untuk menjadi bos bagi diri sendiri. Saat hidup sebagai digital nomad, saya banyak belajar untuk konsisten dan disiplin menghasilkan karya, time management, financial management skill, dan self-motivation. Kalau kamu building your own business, kamu tentunya juga akan belajar keterampilan marketing, sales, finance, network building dan sebagainya. Selain itu, sebagai digital nomad yang punya kebebasan mengatur waktu sendiri, kamu bisa menggunakan waktu kamu untuk mendalami hobi or belajar hobi baru misalnya snowboarding, melukis, surfing, masak healthy food, etc.

4. Being part of the community

Kalau kamu tinggal di suatu kota/ negara yang ada digital nomad communitynya maka kamu bisa join komunitasnya untuk mendapatkan banyak informasi seputar lifestyle ini dan ikutan gatheringnya untuk hang out dengan like-minded people. Tentunya dikelilingi orang-orang yang sepemikiran dan sama lifestylenya itu bagus, selain nambah pengetahuan, network, juga nambah teman.

5. Self-Development

Tinggal di negara lain sebagai digital nomad akan membuat kamu bertemu banyak orang baru dan kamu pun jadi belajar budaya baru, menjadi lebih open-minded, belajar beradaptasi dengan budaya lokal bahkan belajar bahasanya yang pada akhirnya akan memperluas pengalaman dan pengetahuan kamu and you become the better version of yourself. Life surely will be more exciting this way!

6. Live Minimalist

As a digital nomad yang bebas pindah lokasi kerja kapan pun kita suka, kamu akan terbiasa hidup minimalis karena gak mungkin dong pindah negara dan kota dengan bawa barang segambreng. You will then start to value experiences way more than money or things. This is very good for our happiness too because attachment to possessions is one of the causes of human suffering.

Digital Nomad

Now, we’re gonna dig the challenges of living as a digital nomad :

  1. Income instability

Tidak seperti kerja kantoran dimana kamu akan terima gaji setiap tanggal 25, digital nomad menerima payment setelah project selesai atau sesuai kesepakatan dengan klien. In my case, kadang honor telat diterima atau baru dibayarkan pada bulan selanjutnya, which means it emphasizes pentingnya memiliki dana cadangan atau tabungan yang banyak serta menguasai financial management skill agar hidup kamu tetap nyaman, tetap bisa nabung, selagi menjalani gaya hidup digital nomad yang kamu suka.

2. Less routine/ stable life

Pindah tempat tinggal dari suatu negara/ kota ke negara/ kota lain berkali-kali berarti saya mesti pack dan unpack berkali-kali pula, shipping barangnya, cari apartemen baru, nego, proses pindahan, hingga akhirnya mulai hidup di tempat baru. Hal ini bisa terasa exciting tapi bisa juga melelahkan secara fisik dan mental. Gak cuma tempat tinggal yang baru, tapi environment juga berubah jadi kamu musti mencari teman baru lagi dan menciptakan rutinitas baru. Kalau makanan di negara baru beda jauh sama di home country, you’ll gonna miss it a lot! Saya ampe harus belajar masak demi bisa makan makanan Indonesia juga rela ngeluarin duit lebih demi makan masakan Indonesia yang otentik. Also, you’ll definitely gonna miss a lot of things from your home country, like film lokal, barang-barang yang cuma dijual disana, teman-teman, dan lainnya.

3. Tax tax tax

Sejumlah negara menerapkan kebijakan visa khusus digital nomad seperti Thailand dan Estonia sehingga kamu juga mesti apply dan bayar visa serta pajaknya (kalau emang harus bayar pajak). Saya sih belum pernah mengalami bayar pajak dan di Indonesia juga belum ada pajak khusus untuk digital nomad, meskipun sudah ada petisi yang diajukan ke pemerintah agar pemerintah Indonesia mengeluarkan digital nomad visa. Kalau negara tujuan kamu menerapkan sistem pajak bagi digital nomad, artinya kamu mesti mempelajari cara bayar pajaknya dan tentunya bayar dong. Kecuali kamu warga negara AS yang artinya kamu mesti bayar pajak dobel , yaitu di negara tempat tinggal dan pajak AS.

4. Visa Run

Digital nomad gak semestinya tinggal di suatu negara menggunakan visa turis, tapi ini balik lagi ke kebijakan visa tiap negara. Kalau visa kamu habis, kamu mesti siap untuk keluar negeri dan balik lagi untuk dapetin visa baru/ free visa selama jangka waktu tertentu. Intinya mesti sering riset dan paham dengan aturan visa dan stay permit di negara tujuan deh. Gak semua negara proses visanya simpel lho. Di Vietnam kalau mau apply for long term visa saya harus dapet undangan yang bisa dibeli lewat travel agent, otherwise saya bisa masuk dan stay selama 30 hari for free karena sesama anggota ASEAN. I’d done visa run once in Vietnam. I flown from Ha Noi to HCMC then taking bus to Cambodian border for 6 hours, stayed in Phnom Penh for a night then return to HCMC by bus again. Ribet? iya. Exciting? pastinya!

5. Frustations

Bukan hidup namanya kalau gak ada masalah dan frustasi. Menjadi digital nomad juga ada banyak hal yang bisa bikin frustasi lho. Kalau pengalaman saya sih, salah satunya adalah changes. Klien-klien saya dulu bisa tiba-tiba ngubah aturan seenaknya tanpa ngajak ngobrol dulu. Karena status saya freelancer dan sepertinya gak ada hukum yang mengatur hak-hak freelancer jadinya posisi tawar saya lemah. Intinya, hal seperti ini bisa bikin hidup terasa gak stabil. Hal lainnya adalah perasaan lonely. I was lucky because I didn’t feel lonely at all ketika jadi digital nomad tapi hal ini mungkin bisa terjadi kalau kamu pindah-pindah lokasi kerja dan tempat tinggal dan jauh dari teman-teman/ inner circle. Kamu juga bisa frustasi karena hal kecil macam menemukan wifi untuk kerja atau coffee shopnya berisik jadi gak bisa konsen kerja. Dan kalau kamu berprinsip work-life balance is paramount, maka hal ini juga bisa jadi tantangan karena menjadi digital nomad berarti hidup kamu akan menyatu dengan pekerjaan. Bayangin aja kalau kamu punya klien di luar negeri dan mesti meeting di malam hari, di luar jadwal kerja yang udah ditetapkan karena timezone yang berbeda.

So, kamu masih tertarik menjadi digital nomad ? Do you need some tips from me ? Well, I would say, if you are still young, then just do it. Pengalaman nilainya priceless dan kamu akan mendapatkan banyak benefits dari hidup menjadi seorang digital nomad seperti yang udah saya sebutin di atas. Tapi juga jangan impulsif keluar dari pekerjaan tapi persiapan yang cukup. Riset dulu jenis pekerjaan apa yang mau dilakukan, kalau belum punya skillsnya belajar dulu, or dapetin sertifikasinya. Misalnya, mau jadi online English teacher, ya kamu ikutan kursus TEFL/TESOL/ CELTA dulu karena guru bahasa Inggris wajib punya sertifikat mengajar. Selain itu kamu wajib punya tabungan yang cukup untuk hidup. Kamu juga bisa bergabung dengan komunitas di FB group dan digital nomad community untuk mendapatkan informasi, membangun network, hang out with like-minded people dan tentunya membangun support system.

Satu hal lagi, perkaya referensi kamu dengan banyak riset pengalaman digital nomad lain yang udah sukses. Salah satunya adalah Uptin Saiidi, jurnalis CNBC International yang kini banting setir jadi digital nomad, tepatnya sebagai konten kreator seputar ekonomi dan budaya. Kamu bisa cek karya-karya Uptin di Instagram, Tik Tok, Facebook, dan Youtube @uptin atau baca interview ekslusif tentang hidup dan perjalanan karirnya as a digital nomad dengan saya disini.

Curious about my adventures in Europe and America ?. You can click the following links to see my traveling videos that have aired on Net TV :

  1. Desa Hallstatt, Desa dengan Arsitektur Klasik di Pinggir Danau
  2. Imutnya Park Guell, Dunia Fantasi Ala Gaudi di Barcelona
  3. Ada Turki Mini di Bosnia Herzegovina
  4. Nyobain Makanan Khas Bosnia, Kaya Rasa dan Pasti Halal
  5. The Bean, Seni Kontemporer yang Ada di Film – film Hollywood

Want to help support my travel? Help me to visit 50 more countries and write more travel stories & guides by donating here

Watch my adventures & subscribe to my YouTube channel : Dada Kimura

4 thoughts on “Pros & Cons About Being a Digital Nomad

  1. Pingback: Plus Minus Jadi Seorang Digital Nomad | Young On Top

  2. Pingback: A Conversation with Digital Nomad Uptin Saiidi (@uptin). A CNBC International Journalist Who Turns to be a Content Creator – The Island Girl Adventures

Leave a comment