How My Life in America Is Going

Hidup di Amerika Serikat

Sebelum menginjakkan kaki disini, saya gak pernah membayangkan akan travel ke Amerika Serikat. Masukin negara ini ke wishlist aja belum pernah, secara saya lebih tertarik pergi ke negara dan tempat yang banyak sejarah klasiknya dan bagi saya sejarah Amerika terlalu modern. Belum arsitekturnya yang gak sekuno dan semegah gedung-gedung bergaya baroque dan gothic di Eropa. Banyaknya berita miring tentang AS membuat saya menepis negara ini sebagai salah satu destinasi traveling. Namun karena beberapa hal yang sudah saya jelaskan di beberapa postingan sebelumnya, awal November 2018 akhirnya saya menginjakkan kaki di land of freedom, a new world, atau negeri Paman Sam hingga sekarang. Yang awalnya berencana tinggal disini selama 3 bulan, akhirnya akan berakhir selama 6 bulan saking betahnya.

Hidup di Amerika Serikat

Berbeda dengan pengalaman tinggal di Hanoi, Vietnam, pada tahun 2017-2018 lalu, di Amerika uniknya saya tak memerlukan banyak waktu untuk beradaptasi. Di Hanoi dulu, kendala terbesar saya adalah soal makanan. Makanan Vietnam yang oleh banyak turis dan expat diklaim enak banget, sehat, dan sedang naik daun gak pernah bikin saya jatuh hati. Rasanya terlalu hambar untuk lidah saya yang terbiasa dengan makanan Indonesia yang makai banyak bumbu, belum lagi gak jelas daging apa yang dipakai. Plus berdasar pengamatan sih sepertinya standar higienitasnya mencurigakan. Alhasil saya cuma bisa makan di restoran dan selalu milih menu yang itu-itu mulu demi menghindari food poisoning.

Di Amerika, saya tinggal di negara bagian Wisconsin, tepatnya di kota Appleton. Wisconsin terletak di bagian utara AS, bagian dari kawasan Midwest, dan termasuk salah satu states yang berada di Great Lakes region. Wisconsin dijuluki sebagai America dairy’sland karena negara bagian ini merupakan penghasil produk dairy terdepan di Amerika, terutama keju (kejunya enak banget, keju belanda kalah jauh haha). Penduduk Wisconsin adalah keturunan para imigran dari Eropa, terutama Jerman. Makanya disini beberapa budaya Jerman masih dilestarikan misalnya perayaan Oktoberfest. Satu hal yang lucu tentang Wisconsin adalah setiap ketemu orang dari state lain, mereka biasanya langsung komentar kalau Wisconsin dingin banget. Meskipun hal ini benar kalau disini memang dingin banget. Saat winter seperti sekarang, suhunya mencapai -19 derajat celcius, suhu terendah yang pernah saya rasakan. Dan pernah juga mencapai -40 derajat celcius bertahun-tahun lalu.

Disini selama saya tinggal, berinteraksi, dan hang out bersama warga lokal saya jadi tahu bahwa yang sering kita lihat dan dengar di berita – berita itu gak semuanya bener. Ada banyak hal disini yang bikin saya impressed dengan kultur Amerika, banyak juga yang bisa dipelajari kalau ingin segera cepat maju. Berikut catatan seputar kehidupan saya di Wisconsin, Amerika Serikat :

Food & Drink

Kuliner Amerika termasuk yang paling familiar dan mudah ditemukan di Indonesia. Baik di jaringan resto fast food dari Amrik yang buka cabang di Indonesia maupun di kafe dan resto lokal yang sengaja memasukkan makanan dan minuman Amrik ke dalam menunya. Hal ini bikin saya gampang beradaptasi dengan makanan disini. Gak perlu nebak-nebak gimana rasa suatu makanan kayak dulu semasa tinggal di Hanoi. Gak perlu kuatir aman gak ya kalau makan suatu masakan secara standar higienitas disini tinggi. Gak pernah tuh saya merasa aneh makan daging disini kayak di Hanoi karena cara mereka motong dagingnya beda (tulangnya dipotong jadi kelihatan potongan tulangnya). Makanan Amrik yang sering saya makan disini diataranya cheese sandwich, pizza, pasta, chicken & rice, chilli, casserole, dan salad. Sejak tinggal disini, saya jadi jarang mampir ke fast food restaurant semacam KFC & McDonalds, hal yang sering saya lakukan semasa di Hanoi atau Eropa demi makan sesuatu yang familiar di lidah, ayam goreng.

Untuk mengimbangi makanan Amerika dan mengobati kangen akan makanan Indonesia, biasanya saya rutin masak makanan Indonesia sendiri. Secara saya baru belajar masak, jadinya cuman bisa masak makanan yang paling simpel pakai telur, tempe, dan sayuran. Untungnya disini banyak imigran dari Asia (Di Appleton minoritasnya lebih banyak orang Asia dibanding orang kulit hitam), terutama orang Hmong, yang mengungsi ke AS pada masa perang Vietnam. Jadi gak susah buat nemuin Asian Market. Sayangnya seperti di Eropa, produk Indonesia yang paling gampang ditemukan adalah Indomie dan Kopiko. Sementara produk dari Thailand dan Asia Timur merajalela. Meski makanan Jepang, China, dan Thailand juga enak banget tapi tetep dong maunya beli makanan Indonesia. Kok kalah jauh ya ekspor kita ?. Seminggu sekali, biasanya saya dan Kyle mampir ke Asian Market dan dinner di satu restoran Asia di Appleton. Favorit saya tentu Java Warung, restoran makanan Indonesia yang sudah buka di Appleton sejak tahun 2013. Selain Java Warung, Dong Po (chinese restaurant), Mai’s Deli (south east asian restaurant), dan Bangkok Post juga enak makanannya.

Health

Lama tinggal di Jakarta yang overpopulated dan penuh polusi bikin urusan menjaga kesehatan lumayan challenging. Di Amerika saya betah banget karena hampir gak ada polusi kendaraan dan gak pernah ngeliat orang ngerokok. Yes, US has the highest number of obese people karena mereka sering makan fast food dan harganya termasuk paling murah disini. Tapi banyak juga yang menjadikan gaya hidup sehat sebagai prioritas utama, salah satu sebabnya karena biaya rumah sakit disini mahal banget. Hal yang saya suka disini setiap restoran dan produk makanan serta minuman di supermarket mencantumkan kandungan kalori di daftar menu dan kemasannya. Jadi kalau lagi ngebet pengen makan di McDonalds, setelah ngelihat kalau paket homestyle breakfastnya McD mengandung 1350 kalori bisa jadi batal kan.. Selain itu, banyak juga resto yang menyajikan gluten-free food (makanan yang tidak mengandung protein gluten yang banyak ditemukan pada biji-bijian seperti gandum dan gandum hitam) dan vegan food. 

Public Transportation

Hidup di Amerika Serikat

Selama tinggal di Jakarta, terlalu sering saya dengar orang ngeluh soal macet. Kabarnya karena warga Jakarta males pakai transportasi publik. Tapi banyak juga yang menuding pemerintah gak bisa menyediakan transportasi publik yang layak. Kangen dan iri dengan negara tetangga yang sistem transportasi publiknya yang lebih rapi dan modern membuat saya sangat menikmati bermacam transportasi publik yang tersedia di negara-negara Eropa. Tram, bus, subway, kereta, semua udah dicobain deh pokoknya. Nah, pas tinggal di Amerika saya jadi lumayan kaget kok ternyata disini mirip ama di Jakarta. Ternyata bener kata travelers kalau sistem transportasi publik di Amerika parah. Subway atau kereta bawah tanah cuma ada di kota-kota besar macam Chicago dan New York. Milwaukee aja yang notabene kota terbesar di Wisconsin baru punya tram akhir tahun 2018 kemarin. Apalagi Appleton. Hampir semua orang di Appleton kalau mau kemana-mana pakai mobil (tapi gak ada macet karena penyebaran penduduk di AS merata). Jadinya itu trotoar hampir selalu sepi, gak ada yang lewat. Sebenarnya di Appleton ada juga bus bernama Valley Transit, tapi karena hampir setiap orang pakai mobil jadinya busnya selalu sepi. Bahkan ada stereotip kalau pengguna bus disini itu biasanya homeless people…

Hidup di Amerika Serikat

Karena Kyle sering ngantor, jadinya saya nyobain naik bus di Appleton. Ternyata bagus dan bersih kok busnya, cuma agak kuno aja interiornya. Mungkin karena gak banyak yang naik, informasi seputar jadwal bus juga gak lengkap. Gak seperti di Eropa yang mana jadwal kedatangan bus ditempel di papan atau layar LED di setiap bus stop. Disini saya mesti buka google maps untuk mastiin jam kedatangan bus berikutnya. Harga tiket Valley Transit adalah $2/ orang, sudah termasuk kalau transit di Transit Center (stasiun/ terminal bus). Transit Center ini adalah satu-satunya tempat di Appleton dimana saya ketemu banyak orang kulit hitam.

Meski kebanyakan orang memakai mobil, bahkan road trip keliling 50 states menjadi salah satu kegiatan yang sering dilakukan travelers di Amerika, di Amrik ada juga jaringan kereta yang bisa dipakai untuk traveling antar kota, Amtrak. Saya sih belum pernah naik, tapi karena beberapa bulan mendatang akan pergi ke Washington DC, I’m considering to use train from DC to NYC.

Working Culture

Hidup di Amerika Serikat

Sering ngobrol dan tukar informasi dengan teman-teman dan travelers yang tinggal di negara lain bikin saya sadar kalau working culture & system di Indonesia belum banyak memihak pekerja. Lembur tanpa dibayar hal yang umum dialami banyak karyawan di Indonesia. Biasanya perusahaan akan ganti jam lembur dengan libur pengganti atau malah gak ada upahnya sama sekali kalau megang jabatan management, as in my case. Sering juga alasan loyalitas jadi pembenaran dan penguat budaya lembur tanpa dibayar. Satu hal lainnya yang bikin saya keberatan dan terganggu dengan working culture di Indonesia adalah seringnya harus berkomunikasi di luar jam kerja, baik lewat email atau grup whatsapp ( I really hate WA groups !). Lama kerja di perusahaan bikin saya sadar pentingnya work-life balance. But, how come I get it if once I’m home my WA groups ringing or my boss texting me until midnight ?.

Teman saya orang Brazil yang tinggal dan kerja di Prancis as an IT engineer bilang kalau dia cuma kerja 35 jam per minggu, setiap lembur dibayar, dan gak ada komunikasi apapun diluar jam kerja. Temen orang Belgia yang tinggal di Brussels bilang kalau zaman dulu di Eropa keadaannya juga gak bagus buat pekerja sampai akhirnya asosiasi pekerja menuntut pemerintah agar bikin aturan yang memihak para pekerja. Banyak negara Eropa yang memberikan cuti tahunan selama 5 minggu. Wow !. Di Amerika sini mungkin budaya kerjanya gak seenak di Eropa sana. Americans works more than Europeans, around 40-45 hours per week. Cuti tahunannya pun ‘cuma’ 2-3 minggu per tahun.Tapi fairness jadi prinsip dasar disini bagi perusahaan maupun karyawannya. Gaji/ upah dihitung setiap jam, yang bagi saya ini menguntungkan kedua belah pihak. No cheating from both side. Kalau pun mesti lembur pun akan ada kompensasinya. Kyle yang kerja di sebuah kantor di Oshkosh bilang ke saya kalau bosnya melarang keras dia untuk buka email atau ngerjain kerjaan di luar kantor dan jam kerja. Pokoknya selesai jam kerja gak ada yang boleh nyentuh kerjaan. Wow kapan ya di Indonesia bisa kayak gini ?. Serunya lagi, kerja di kantor disini tidak mengharuskan karyawan untuk akrab dengan rekan kerja. Gak perlu basa-basi, waktu kerja hanya dipakai untuk kerja dan setelah itu pulang. Memang sih serunya kerja di Indonesia itu banyak teman kantornya dan untuk beberapa perusahaan bonding antar karyawan sengaja dibangun, sengaja dibuat suasananya agar seperti family karena kondisi ini banyak menguntungkan perusahaan. Tapi untuk beberapa orang yang individualistik, datang ke kantor hanya untuk kerja lalu pulang tampaknya sama menyenangkannya. I wish I could work like this in Indonesia.

Racism

Rasisme ada dimana aja, di negara maju ataupun berkembang. Mungkin emang udah jadi sifat alami manusia untuk merasa dan menunjukkan kalau dirinya/ kelompoknya lebih unggul dibanding yang lainnya. Di Amerika , seperti yang sering muncul di berita, ada juga orang yang rasis. Bahkan saya pernah mengalaminya sendiri bulan kemarin. Jadi ceritanya ada orang disini yang sering menghina orang Asia maupun budaya Asia meski dia belum pernah kesana. Jangankan kesana, menginjakkan kaki keluar Amerika aja belum pernah. Tapi untungnya setelah saya marah balik, beberapa saat kemudian orangnya minta maaf dan masalah selesai. Hal ini sebenarnya bisa terjadi karena belum kenal aja, atau kebanyakan baca berita negatif di media. Tapi setelah kenal ternyata he is a nice person. Namun meskipun ada aja orang Amerika yang rasis, apalagi para pendukungnya Trump, tetep banyak juga yang open minded dan baik. Pengalaman kayak gini bukan berarti saya melabeli Amerika sebagai negara yang rasis, karena kenyataannya di Indonesia juga banyak orang rasis, di Eropa juga ada beberapa orang yang rasis sama Asians. Intinya bagi saya, jangan pernah membiarkan orang memperlakukan kita tidak sepantasnya hanya karena ras, jadi kita harus bisa membela diri biar gak ada yang semena-mena dan memandang sebelah mata.

Privacy

This is one thing I admire the most from western civilization. People respects other people as human. Sedang di Asia, termasuk di negara sendiri kita masih sering memperlakukan orang lain dengan memandang gender, umur, status sosial ekonomi, apalagi fisik. Sering kan baca di sosmed ada orang yang ngatain fisik orang lain, atau kalau ketemu temen lama biasanya kata pertama yang terlontar adalah komentar seputar fisik ?. I dont find such things here. People here dont say such things because they dont wanna make people feel bad, they care about people feelings, karena mereka sadar itu gak pantas dan gak sopan. While di negeri sendiri meski udah banyak yang nyindir dan menunjukkan keberatan, masih ada aja yang gak mau berubah. Masih banyak yang pengen memuaskan hasrat komentar soal fisik, status, dan lainnya.

Disini saya notice juga kalau jarak rumah satu dengan lainnya lumayan lebar karena mereka menginginkan lebih banyak privacy.

Politeness

Berbeda dengan Europeans yang jauh lebih straightforward dan apa adanya kalau ngomong, no basa-basi, Americans surprisingly more like Indonesians dalam hal ini. Kalau ketemu orang lain mereka senyum, nanya kabar, pokoknya basa-basilah. Sepertinya hal ini juga yang bikin saya merasa gampang betah tinggal disini, karena kulturnya mirip. Kabarnya cuma New Yorkers yang gak ramah dan jutek, but I havent been there. I’ll see it by myself on next April.

Curious about my adventures in Europe and America ?. You can click the following link to see my traveling video that has been aired in Net TV :

  1. Desa Hallstatt, Desa dengan Arsitektur Klasik di Pinggir Danau
  2. Imutnya Park Guell, Dunia Fantasi Ala Gaudi di Barcelona
  3. Ada Turki Mini di Bosnia Herzegovina
  4. Nyobain Makanan Khas Bosnia, Kaya Rasa dan Pasti Halal
  5. The Bean, Seni Kontemporer yang Ada di Film – film Hollywood

Watch my videos at my youtube channel : theislandgirl adventures

11 thoughts on “How My Life in America Is Going

  1. Pingback: 9 Hal yang Harus Dilakukan Saat Jalan-Jalan ke Chicago, Amerika Serikat – The Island Girl Adventures

  2. Pingback: Nyari makanan Indonesia di Amerika Serikat ? Disini tempatnya – The Island Girl Adventures

    1. Kalau visa Amerika diapproved, biasanya valid for 5 years. Tapi sekali masuk ke wilayah AS ada batas waktu berapa lama bisa tinggal disana. petugas imigrasi AS akan nentuin berapa lamanya, bisa 1,3 atau 6 bulan saat kita di imigrasi.

      Like

  3. Pingback: My Impressions About American Culture – The Island Girl Adventures

  4. Pingback: Facing Racism During Traveling – The Island Girl Adventures

  5. sopang

    Mantap ya pengalaman nya.
    saya aja penasaran kalo mau kerja di Indonesia. karena sekarang sudah bosan kerja di negara sendiri iaitu Malaysia. mau juga cari pengalaman di seputer nusantara ini. biasanya cuma sering main ke JKT utk wisata.

    Like

  6. Pingback: Pengalaman Kena Rasis Saat Traveling | Young On Top

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s